10 Juni 2009

PADAT KARYA






Selamatan untuk memulai Padat karya pembuatan Kolam Untuk pembibitan Ikan, lokasi berada di Sebelah Selatan dan Utara Desa Mondoretno. Bpk CAMAT BULU dan Staf melakukan peletakan pertama beserta Bpk Kepala Desa , BPD desa Mondoretno

RADIO KAYU MADE IN KANDANGAN




KRISIS moneter yang menggoncang perekonomian dunia tidak membuat kecut hati alumnus design Institut Teknologi Bandung (ITB), Singgih Kartono (40). Ia tetap tekun dengan usaha pembuatan radio menggunakan bahan baku kayu. Berkat kreatititas produk dan strategi pemasaran yang jitu, produk karya Singgih berhasil melanglang buana mulai dari Jepang, daratan Eropa hingga Amerika sana.
Berkat karya radio ini, Singgih berhasil meraih penghargaan International Design Resource Association (IDRA) di Seattle Amerika Serikat pada 1997 lalu. Kerajinan ini jawara untuk kriteria produk dengan bahan yang bisa didaur ulang, memberi potensi besar terhadap proses daur ulang, dan memberi nilai lebih terhadap produk. Radio retro ini bisa disetel untuk AM atau FM, juga untuk MP3 dan dua band gelombang pendek.

Singgih mulai merintis usahanya itu sejak tahun 1995 lalu. Si penggagas radio kayu asal Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah ini ingin mengubah pandangan orang bahwa kerajinan tangan tidak selalu identik dengan seni atau tradisional, tapi juga memasukkan industri elektronik.

Selain meraih penghargaan dari IDRA, radio kayu ‘made in’ Singgih tahun ini juga berhasil meraih penghargaan dari Design For Asia Award 2008.

Dunia kayu memang sudah melekat pada diri pria satu ini, sebelum ia menekuni bangku kuliahnya di ITB. “Saya tidak tahu persis, apa faktor kedekatan saya pada alam dan tumbuhan karena lingkungan alam di sekitar tempat saya tinggal di Temanggung banyak ditumbuhi pohon sengon dan sonokeling. Kayu merupakan material yang luar biasa hidup, berkesinambungan dan terbatas,” ujar Singgih saat ditemui Bangka Pos Group, pertengahan Oktober lalu.

Perjuangannya dimulai sejak ia akan berangkat kuliah ke ITB. Sang ayah tak sanggup membiayainya secara penuh. Singgih sempat nekad bertanya pada ayahnya, berapa biaya yang bisa diberikan oleh sang ayah. “Sisanya saya yang akan menanggungnya,” ujar Singgih.

Selesai menekuni masa belajarnya di Bandung, Singgih Kartono justru kembali ke tanah kelahirannya di Temanggung.

Materi kayu tetap jadi pilihan Singgih untuk mencari mata pencaharian. Tidak heran bila alumnus ITB ini sering modar mandir di sekitar tempat tinggalnya mengendarai Vespa milik ayahnya, hanya untuk mencari dan mengumpulkan potongan-potongan kayu sebagai bahan materi pembuatan produknya.

Singgih lalu merintis usaha di rumahnya yang diubah menjadi workshop. Sementara untuk pelaksanaan bisnis, Singgih terpaksa mengkontrak ruang tamu tetangganya sebagai tempat transaksi bisnisnya.

Awal mula Singgih merintis usahanya pada usaha produk-produk peralatan kantor, seperti stepler kayu, tempat selotipe, kotak peralatan. Baru tahun 2005 keinginan membuat kotak radio dilakukannya.

Jualan Lewat Internet

Semua produk kayu hasil produksi Singgih ditawarkannya melalui jalur internet, mengingat bila dilakukan secara langsung, banyak kendala yang harus dihadapi. Dengan internet, buyer (pembeli) dapat langsung mengkontak dan sekaligus datang untuk membeli produknya.
Diakui Singgih, setiap pembeli produk radio kayunya harus tetap menggunakan namanya serta merek usahanya, Magno.

“Saya tidak mengizinkan pembeli radio kayu produk saya mengganti dengan nama lain,” kata Singgih.
Radio kayu Singgih dijual dari kisaran 80, 58 dan 47,5 dolar AS untuk ukuran radio kayu kecil. Bahkan di Amerika, harga radio yang dibandrol dengan harga 47,5 dolar ini mampu menembus angka 250 unit per bulan.

Perusahaan milik Singgih bernama Magno, memulai merintis usaha pertamanya membuat tempat kaca pembesar dan tempat kompas dari kayu. Kini Magno telah memiliki 33 tenaga pekerja dari Desa Kandangan. Kapasitas produksinya 250 hingga 300 unit radio per bulan. Dari jumlah itu, sekitar 80 persen produknya diekspor ke Amerika Serikat, sisanya masing-masing 15 persen ke kawasan Eropa dan Jepang.

Selain melakukan kegiatan bisnisnya dari bahan kayu, tak lupa setiap 2 persen persen dari hasil penjualan produk-produk radio maupun peralatan kantor disisihkan Singgih untuk pembibitan kayu sengon maupun sonokeling. Singgih tahu betul akan ekosistem alam, setiap dia menggunakan pohon untuk memproduksi, maka ia segera menanam kembali penggantinya.

Mau tahu berapa besar omzetnya? Dari 300 radio kayu yang dijual hingga 250 dolar AS, Singgih mampu memperoleh Rp 750 juta per bulan. Kini keuntungannya terus berlipat seiring terus berkembangnya usaha ini. Bahkan Singgih mengaku jumlah permintaan produk buatannya berkisar 500 hingga 600 unit per bulan.

Singgih pantas diacungi jempol. Selain mampu menghidupi kebutuhan keluarga, usahanya turut membantu kehidupan tetangga yang ikut bekerja memproduksi radio kayunya. Singgih hingga saat ini tidak pernah meraih penghargaan dari negerinya sendiri, justru dari dunia internasional memberikan apresiasi terhadap buah tangan orang asli Indonesia ini. (Persda Network/Budi Prasetyo)